Menteri Agama Suryadharma Ali menerima hasil kajian KPK terhadap sistem penyelenggaraan haji yang disampaikan Wakil Ketua KPK, Moch. Jasin di gedung KPK. (kemenag.go.id)
Sorotan bernada miring terhadap penyelenggaraan ibadah haji seakan tidak pernah surut, baik sebelum maupun setelah pelaksanaan haji.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU), Abdul Ghofur Djawahir, ada sejumlah asumsi yang mendasari sebagian masyarakat menuding Kementerian Agama melakukan korupsi haji.
Salah satunya adalah hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melansir adanya 48 titik lemah sistem penyelenggaraan ibadah haji yang berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi.
Padahal, kajian KPK tersebut berawal dari inisiatif Menteri Agama H. Muhammad Maftuh Basyuni yang menggandeng lembaga ini untuk bersama-sama membenahi penyelenggaraan haji.
Ini merupakan bentuk komitmen bersama untuk mengelola dana haji secara efisien dan transparan. “KPK melakukan kajian selama 13 bulan sejak Januari 2009 hingga Maret 2010, kemudian menyampaikan hasil kajiannya tentang sejumlah poin yang perlu diperbaiki dalam penyelenggaraan haji”, kata Djawahir.
Hasil kajian KPK yang disampaikan pada pertengahan Mei lalu, mengklasifikasi 48 titik lemah itu dalam empat aspek, yakni regulasi, kelembagaan, tata laksana, dan manajemen sumber daya manusia. “Ke depan, harus ada perbaikan terhadap 48 titik lemah dalam pelayanan ibadah haji yang berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi”, kata Wakil Ketua KPK, M. Jasin.
M. Jasin mencontohkan, salah satu titik lemah yang berpotensi terjadinya inefisiensi adalah lemahnya organisasi di Arab Saudi. Dari hasil kajian KPK dimungkinkan terjadi inefesiensi di Arab Saudi, karena mengolah dana yang besar hanya oleh dua orang staff, apalagi staff tersebut tidak memiliki eselon.
Sama Cara Pandang
Kementerian Agama memandang hasil kajian KPK itu sebagai masukan yang konstruktif. Ternyata sama cara pandang KPK dengan Kementerian Agama. Pada saat yang sama Kementerian Agama sedang membenahi organisasi penyelenggaraan haji di Arab Saudi.
Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU), Abdul Ghofur Djawahir menjelaskan bahwa Kementerian Agama sudah mengantongi persetujuan Menag PAN, Menlu dan Menteri Keuangan tentang pembentukan Kantor Haji di Arab Saudi dengan nama Kantor Misi Haji Indonesia yang merupakan Satuan Kerja Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umroh.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Bahrul Hayat, membenarkan bahwa cara pandang yang dipakai KPK sama dengan cara pandang Kemenag. Menyangkut kurangnya tenaga Akuntan, tenaga Teknologi Informasi dan perlunya perbaikan tata kelola keuangan haji menurut Sekjen Kemenag merupakan bukti cara pandang yang sama antara KPK dan Kemenag.
Adanya pandangan negatif terhadap penyelenggaraan ibadah haji saat ini lebih banyak disebabkan karena mereka tidak mengetahui secara utuh tentang penyelenggaraan ibadah haji, atau karena adanya beda cara pandang.
Seringkali pandangan negatif tersebut selalu didahului dengan kata “Diduga”, tidak dengan data yang valid dan authentic, seperti dugaan adanya deposito dana haji yang disalahgunakan.
Hasil kajian KPK itu tentu menjadi masukan positif. Poin-poin tersebut kemudian dirumuskan menjadi rencana tindak (action plan) Kementerian Agama. “Seluruh action plan itu telah kami laksanakan”, ujar Abdul Ghofur Djawahir.
Menteri Agama Suryadharma Ali juga menjamin seluruh aspek penyelenggaraan ibadah haji, termasuk pengelolaan dananya, dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar